Tahun 2011 ini penduduk Indonesia diperkenalkan dengan sebuah sistem
baru dalam hal pendataan dan administrasi sipil. Selain lebih terpusat
dari sebelumnya, pendataan ini juga diselaraskan dengan perkembangan
teknologi canggih dan struktur masyarakat informasi. Kartu identitas
diri atau Kartu Tanda Penduduk kini diformat secara digital
(electronic-KTP).
e-KTP atau Elektronic-Kartu Tanda Penduduk merupakan Kartu Tanda
Penduduk yang di buat secara elektronik, dalam artian baik dari segi
fisik maupun penggunaan berfungsi secara komputerisasi. e-KTP didesain
dengan metode autentikasi dan pengamanan data tinggi. Hal ini dapat
dicapai dengan menanamkan chip di dalam kartu yang memiliki kemampuan
autentikasi, enkripsi dan tanda tangan digital.
Pemerintah mengumumkan bahwa e-KTP ini berfungsi menyimpan satu nomor identitas tunggal (unique identification)
atau Nomor Induk Kependudukan yang nantinya akan menjadi rujukan untuk
menerbitkan berbagai dokumen seperti paspor, SIM, nomor wajib pajak,
polis asuransi, hingga sertifikat tanah.
Tentu yang mengusik nurani kita adalah bahwa e-KTP sangat
bersinggungan dengan privasi kita. Dengan adanya chip di dalam e-KTP,
tiap warga Negara bisa diawasi begitu ketat, baik keberadaannya maupun
gerak-geriknya. Terlebih kini sudah lahir UU Intelijen sebagai otoritas
penguat untuk mengintai daya kritisme masyarakyat.
Salah satu fitur penting dalam e-KTP ini adalah sistem penyimpanan
data secara biometrik dan digital. Hal ini dimungkinkan berkat
teknologi radio-frequency identification tagging atau RFID. e-KTP menggunakan sebuah memory chip yang dibenamkan dalam plat kartu berbahan polyester terephthalate.
Dalam chip tersebutlah informasi-informasi terpenting terkait data personal pemegang kartu disimpan dan bisa ditransfer, digandakan,Selain difoto, informasi personal tersebut diambil melalui proses
biometrik dengan memindai sidik jari (10 jari). Data biometrik tersebut
disandingkan dengan biodata dan tanda tangan yang diisi secara manual
melalui formulir resmi sebagai verifikasi tanda tangan digital, lalu
diinput secara digital dan kemudian diregister dengan sistem
komputerisasi untuk menghasilkan penomoran NIK yang dikeluarkan secara
tersentral. Bahkan selain itu, tiap pembuat e-KTP diharuskan melakukan
perekaman iris mata. Tentu kita bertanya-tanya apa maksud dari ini
semua.. Dan kita tidak tahu fungsi sejati dari sebuah ‘perekaman iris
mata’ yang juga seperti pemberian tanda barcode…Sistem barcode yang
ditanam dalam iris/retina mata satu alat kontrol yang memiliki fungsi
serupa dengan microchip. barcode merupakan metode terpopuler saat ini
sebagaimana digunkan pula sebagai pendataan produk komuditas barang dan
lainnya…yang semua data dan informasi tersebut disimpan dalam chip yang dapat memancarkan gelombang frekuensi tertentu sehingga bisa dikenali oleh media detektor.
Bagi
menurut kebanyakan orang, sistem ini bukan menjadi masalah apa-apa.
Seperti yang banyak diberitakan, masyarakat justru sangat antusias untuk
mendapatkan kartu identitas canggih ini, sehingga rela antri
berjam-jam hingga malam hari di kantor-kantor pemerintah untuk mengurus
pembuatan kartu ini. Disamping karena membutuhkannya sebagai syarat dan
akses pelayanan kebutuhan sehari-hari, masyarakat tidak menerima banyak
informasi mengenai sisi lain dari penerapan sistem ini. Padahal salah
satu yang mengusik pikiran saya selama ini ialah kesamaan fungsi e-KTP
beserta chip di dalamnya dengan program The RFID Chip 666 sebagai alat
kontrol zionisme.
Dasar pengembangan RFID untuk manusia adalah sebuah sistem yang
disebut SmartCard yang memiliki microchip lithium yang berfungsi membaca
data riwayat seseorang yang berhubungan secara elektronik ke pusat data
pemerintah seperti informasi kesehatan, data pajak, dan jumlah tabungan
serta identitas pribadi lainnya. RFID sendiri atau Radio Frequency
Identification digunakan untuk menyimpan atau menerima data secara jarak
jauh dengan menggunakan suatu piranti yang bernama RFID tag atau
transponder. RFID tag adalah sebuah benda kecil yang dapat ditempelkan
pada suatu barang atau produk. Hebatnya meski kecil, RFID tag berisi
antena yang memungkinkan mereka untuk menerima dan merespon terhadap
suatu query (semacam kemampuan untuk menampilkan suatu data dari database) yang dipancarkan oleh suatu RFID transceiver.
Sejarah ini bermula ketika tahun 1946, Léon Theremin menemukan alat
mata-mata untuk pemerintah Uni Soviet yang dapat memancarkan kembali
gelombang radio dengan informasi suara. Gelombang suara ini kemudian
memodulasi frekuensi radio yang terpantul. Sebuah alat pendengar
mata-mata, alat ini diakui sebagai benda pertama dan salah satu
nenek-moyang teknologi RFID.
Penulis terkenal Victor Hugo cukup bagus menggambarkan situasi serupa di era Revolusi Perancis dalam novel Les Miserable’s.
Hugo menampilkannya lewat Opsir Javert, seorang pejabat polisi fanatik,
yang menginginkan agar teritori Paris juga dikontrol secara tidak
langsung melalui pendataan penduduk. Tujuan : agar segala gerak-gerik
dan dinamika populasi bisa diketahui sebagai informasi penting dalam
mengamankan kekuasaan status quo. Paris saat itu tengah dilanda
urbanisasi massal, yang selain menimbulkan ledakan populasi juga rawan
aksi kriminal yang bisa menciptakan keresahan sosial. Bagi Opsir Javert,
“Untuk mendeteksi ancaman, kita mesti memulainya dengan mendata
mereka.”
Di era modern ini selain terkait masalah kependudukan, terorismelah
yang dijadikan isu untuk melegitimasi upaya-upaya kontrol dan
pendisiplinan masyarakat. Salah satu argumen utama yang dibangun
pemerintah dalam menerbitkan e-KTP ini adalah isu keamanan (terorisme),
sehingga perlu dilakukan pendataan secara terpadu untuk menghindari aksi
penggandaan atau pemalsuan identitas. Bayangkan dalam tahap pembuatan
e-KTP, tiap warga negara harus melalui proses berlapis.
Tetapi argumen-argumen bahwa perapihan administrasi berguna mencegah
terorisme tentu saja tidak berdasar sama sekali. Selembar kartu tidak
akan bisa mencegah terorisme, karena terorisme memiliki akar yang
berbeda ketimbang ketiadaan identitas pelaku teror.
Yang harus ditekankan adalah bahwa yang utama dalam hal ini bukanlah
pada selembar kartunya, melainkan pada upaya otoritas untuk meregister,
mengidentifikasi dan mengontrol populasi. Kontrol terhadap populasi
atau kehidupan sosial adalah kontrol struktur kuasa.
Disini, kekuasaan harus dimaknai lebih luas – tidak berhenti pada
sebuah wilayah sosial yang spesifik dimana disiplin dan aturan
diberlakukan, melainkan mesti pula mengandung analisa tentang regulasi
atas populasi dalam kesehariannya, termasuk partisipasi individu dan
seluruh populasi secara biologis dan anatomis dalam dimensi politik.
Tetapi populasi juga tidak bisa lagi dimaknai sekedar sebagai
sekumpulan individu yang mendiami sebuah teritorial, melainkan sebuah
mesin yang berfungsi memproduksi dan mereproduksi kesejahteraan (wealth),
barang-barang dan pula individu-individu baru, dalam kehidupan
sehari-hari. Relasi produksi dan reproduksi ini harus bisa dipastikan
berjalan secara normal. Untuk keperluan itulah metode dan teknik kontrol
dikembangkan, bahkan sampai pada titik ekstrim melalui proses
internalisasi.
Pertemuan tersebut pada nantinya berkontribusi memapankan biopower
– struktur kekuasaan yang mengatur kehidupan sosial dari dalam, untuk
kemudian membuntuti, melacak, menyadap, menjejaki, memindai dan
menerjemahkan serta menyerapnya, sehingga pada akhirnya setiap individu
menerima, meyakini, mengaktifkan bahkan memberikan persetujuannya atas
kekuasaan.
Penerapan e-KTP, dengan fitur utamanya berupa chip yang
berisi informasi biometrik (sidik jari, retina mata) yang tersentralisir
dan terintegrasi, merupakan salah satu langkah agresif dalam
mengintensifkan dan menajamkan struktur dan fungsi kuasa ke dalam
individu maupun populasi secara keseluruhan. Ke depan, kecenderungan ini
dapat mendorong kita menjadi negara-polisi (police-state),
dimana segala sesuatunya dalam kehidupan sosial, berada dalam kontrol
dan kendali pengawasan ketat elit penguasa. Zionis ingin melakukan
kontrolisasi dan pendataan pergerakan manusia-manusia yang telah mereka
incar. Dengan dimasukkannya chip , hal itu akan memudahkan mereka untuk
memastikan target yang mereka incar berada dalam sebuah pengawasan “Sang
mata satu”.
Rupanya alasan dibalik pembuatan tekhnologi canggih ini tidak
terlepas dari doktrin teologis 666 di bible. Dalam surat wahtu 13: 16-18
dijelaskan.
“dan ia menyebabkan, sehingga kepada semua orang, kecil atau
besar, kaya atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan
kanannya atau pada dahinya, dan tidak seorang pun yang dapat membeli
atau menjual selain dari pada mereka yang memakai tanda itu yaitu nama
binatang itu atau bilangan namanya. Yang penting di sini ialah hikmat:
barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu,
karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya
ialah enam ratus enam puluh enam.” (Lebih jauh silahkan anda baca http://www.tldm.org/news4/markofthebeast.htm)
Informasi-informasi personal dan privat tersebut tidak saja dapat
digunakan untuk tujuan komersil seperti misalnya riset psikografi dan
marketing, namun juga untuk tujuan-tujuan politis yang bertujuan
melindungi kekuasaan. Bersamaan dengan makin berkembangnya instalasi
kamera pengintai (CCTV) di sudut-sudut kota dan tempat umum, juga
pengintaian yang saat ini bisa langsung lewat satelit, perangkat lunak
dan teknologi pengidentifikasian, ditambah aturan formal seperti UU
Intelijen yang baru saja diteken, ke depan negara lebih mudah
mengidentifikasi siapapun yang dituduh menjadi ancaman bagi keamanan.
Mereka bisa dengan lebih mudah mendeteksi siapa saja yang berada dalam
kerumunan sebuah protes sosial, bahkan di tempat-tempat umum, melalui
kamera atau satelit yang bisa mendeteksi retina mata. Tentu saja,
pemisalan tersebut dapat terus bertambah dan berkembang. Selain itu apa
yang membahayakan dari program chip ini Tidak lain adalah sebuah
perangkat yang bisa memanipulasi manusia dari mulai emosi, mental,
sekaligus fisik. Dalam program zionis, inilah yang biasa kita kenal
sebagai mindcontrol (lihat juga tulisan lain diblog ini yang berkaitan, Mindcontrl, HAARP, BLUE BEAM). .
Dengan adanya nomer identitas tunggal bagi setiap manusia, apalagi
ditanam identifikasi dalam retinanya, maka sang pemilik otoritas dan
akses terhadap pusat server data kependudukan tentu bisa mengontrol
siapapun..pengontrolan terhadap populasi manusia seluruh dunia adalah
tahap akhir dari upaya penguasaan ras manusia.
Ini merupakan ancaman serius bagi kebebasan dan perubahan sosial !!
Amerika Serikat sendiri sebagai pemerintahan Zionis, sudah
mempersiapkan pemberlakukan RFID Chip kepada para warganya sebagai
antisipasi dari tindakan terrorisme yang menyerang negaranya. Bahkan di
Spanyol Baja Beach Club, sebuah klub malam eksklusif di Barcelona, sejak
tahun 2004 sudah menanamkan Chip sebagai prasyarat untuk menjadi
pelanggan VIP dengan dalih keperluan identifikasi.
Dan saya sungguh khawatir dari pemberlakuan RFID Chip 666, terlebih
dalam e-KTP ada sebuah chip yang berisi data-data yang sama seperti
tercantum di tampilan muka kartu identitas, alamat kontak pemilik kartu,
sertifikat serta data kunci pemilik kartu yang tersimpan dalam database
milik negara (http://pedomannews.com/ Kamis, 30 Juni 2011)
Dan Saat ini e-KTP telah mulai meluas digunakan di hampir seluruh
negara anggota Uni Eropa dan beberapa negara Asia seperti China dan
India. Akankah ini betul-betul menuju sebuah tatanan yang satu, maksud
yang satu, dan arah yang satu yakni sebuah tatanan dunia baru yang lazim
disebut New Wolrd Order. Kita harus jeli dan terus waspada. Awasi terus program e-KTP. Allahua’lam. (Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi)
mari kita simak beberapa video dibawah ini:
So you got an RFID implant in your eye ?
(http://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/e-ktp.htm)
MEMAHAMI DIALOG THE MATRIX, HUBUNGANNYA DNG PROGRAM E-KTP
What is the Matrix? Control.
The Matrix is a computer generated dream world, built to keep us under
control in order to change a human being into this (lithium battere).
Pada dasarnya Matrix adalah penjara tak kasat mata yang memasung hak2
individu paling pribadi dalam bentuk RFID Chip (lithium batere).
================================================================================
Temans, film adalah media sosial yang seringkali merupakan alat
paling sempurna untuk menjelaskan sebuah propaganda. Film2 yang
diproduksi Hollywood misalnya, setiap tahun memberikan dampak luar biasa
bagi jutaan penonton karena membawa misi zionisme dalam bentuk
pluralisme agama, feminisme, isu lingkungan, terorisme, New Age Movement
dan lain sebagainya. Jadi film, khususnya yang diproduksi secara
besar2an dan direkayasa untuk meraih box office seperti The Matrix,
Avatar, Harry Potter, Resident Evil dan lainnya didisain untuk
menyisipkan pesan-pesan tertentu khususnya dalam menyambut rencana besar
zionisme bernama Tatanan Dunia Baru.
Kembali pada bahasan kita, beberapa orang teman menanyakan persoalan e-KTP, dan karena saya bukan pak lurah
jadi saya tidak kompeten melihat persoalan itu dari sisi kependudukan
atau birokrasi. Saya hanya mencoba mengamati kenapa seiring berjalannya
waktu, dunia kita semakin hari semakin mengerucut saja menjadi SATU
DUNIA GLOBAL. Batas-batas wilayah ditiadakan melalui
persekutuan-persekutuan teritori seperti Uni Eropa, NAU, Uni Afrika dan
lainnya, batas-batas ras dan individu dileburkan melalui dunia maya,
batas-batas gender disetarakan melalui persamaan hak dan konsep
feminisme, batas-batas agama disatukan melalui URI (united Religion
Initiative) yang diusung PBB. Jadi dunia di mana kita hidup saat ini
adalah dunia tanpa sekat yang dipermudah oleh tingginya pemahaman
manusia dalam
peradaban teknologi khususnya dalam bidang komunikasi.
Nah, apakah The Matrix itu sebenarnya? Saya rasa setiap dari Anda
sudah pernah menonton film ini. Ketika Neo menanyakan apa yang dimaksud
The Matrix, Morpheus memperlihatkan sebuah batere lithium padanya dan
berkata, “What is the Matrix? Control. The Matrix is a computer
generated dream world, built to keep us under control in order to change
a human being into this (lithium battere)”. Silakan baca juga buku
Novus Ordo Seclorum hal. 123.
Jadi The Matrix adalah persoalan siapa mengendalikan siapa, atau
siapa yang menguasai siapa. The Matrix adalah kasta. Dunia impian yang
digeneralisir melalui komputer yang dibuat untuk merubah manusia menjadi
batere litihium. Tentu tidak benar2 membuat Anda menjadi seperti batere
akan tetapi sebenarnya memasung hak-hak individu Anda dalam penjara
sebesar 5 milimeter bernama digital chip. Teknologi digital chip spt
dijelaskan dalam buku Novus Ordo Seclorum, dan bagaimana konsep ini
berawal dari barcode, credit card, RFID dan akan berakhir pada
perbudakan umat manusia. Lithium batere yang dijelaskan oleh
Morpheous adalah kandungan utama chip RFID yang saat ini selain
digunakan sebagai National ID Card di Amerika Serikat, juga oleh negara2
UE, di beberapa negara Asia dan sekarang masuk ke Indonesia dalam
bentuk E-KTP. Mengapa ini kemudian dianggap berbahaya apabila
tidak dikontrol oleh pemerintah? Karena database E-KTP akan menampung
seluruh data individu bahkan hingga yang paling pribadi sekali pun.
Awalnya memang chip ini hanya diperuntukkan memfasilitasi data
kependudukan, akan tetapi di beberapa negara metode spt ini telah
menyatukan hampir seluruh informasi pribadi warga negara termasuk di
dalamnya data pajak, SIM, data kesehatan hingga kelak pinjaman anda ke
bank juga akan tercatat secara digital.
Database e-KTP harus Tunggal Terpusat
Mengingat kompleksitas keterkaitan antar record dalam database warganegara maupun antara database warga
negara dengan database sistem informasi lainnya, sangat sulit
dibayangkan jika database tersebut tidak tunggal. Memang ada arsitektur
gubahan baru database tersebar (DRDA), tapi saya yakin itu bukan solusi
untuk database warganegara. Bayangkan, antar record saja sudah saling
kait mengkait. record kita dengan anak kita, isteri kita dan orang tua
kita. Padahal belum tentu tinggal di kawasan yang sama. Jika setiap
kawasan atau wilayah dikelola dengan database terpisah, integrasinya
menjadi rumit.
Terlebih jika semua database tersebar, overhead akan semakin tinggi
saat melakukan transaksi terkait dengan wilayah yang berbeda. Misalnya
database SIM juga tersebar. Maka ketika seseorang pindah domisili dari
Bogor ke Yogya, kode identitas harus berubah. Akibatnya database SIM
juga harus berubah, database pajak dan database lain yang terkait dengan
identitas orang tersebut harus berubah.
(deru.blogspot.com/2011/10/menyimak-e-ktp.html)
Nah coba dibayangkan jika database semua warganegara dan database
kependudukan terpusat dalam satu server yang dimiliki pemerintah. Adakah
jaminan server itu tidak bisa diakses oleh negara lain, sementara kita
ketahui peralatan yang begitu mahal saja diimpor dari Amerika Serikat?
Itu masih sebatas informasi saja, lalu bagaimana bila chip tersebut juga
kelak diberi fasilitas GPS seperti yang telah dilakukan pada mobil2
Eropa, pada handphone dan sebagian mata uang euro? Itu berarti setiap
jengkal langkah kita akan diketahui oleh mereka yang menguasai peradaban
teknologi itu, tepat seperti kata Morpheus, The Matrix adalah persoalan
kontrol, bagaimana umat manusia dikontrol dan dikuasai. Jadi KTP Anda
kelak bukan lagi sekedar kartu plastik yang disisipkan di dalam dompet
namun juga berfungsi sebagai alat pelacak. (Morpheus: The pill you took
is part of a trace program. It’s designed to disrupt your input/output carrier signal so we can pinpoint your location).
Matrix memang tidak secara langsung berbicara tentang fungsi2 E-KTP
namun film ini menjelaskan gambaran besar apa yang akan terjadi pada
umat manusia dalam beberapa tahun ke depan. Dan realisasi E-KTP adalah
salah satu cikal bakal indentitas global warga dunia seperti yang sudah
dipersiapkan oleh PBB dan UE.
Morpheus: Do you want to know what it is? The Matrix
is everywhere. It is all around us, even now in this very room. You can
see it when you look out your window or when you turn on your
television. You can feel it when you go to work, when you go to church,
when you pay your taxes. It is the world that has been pulled over your
eyes to blind you from the truth.
Neo: What truth?
Morpheus: That you are a slave, Neo. Like everyone else you were born into bondage, born into a prison that you cannot smell or taste or touch. A prison for your mind.
Unfortunately, no one can be told what the Matrix is. You have to see
it for yourself. This is your last chance. After this there is no
turning back. You take the blue pill, the story ends, you wake up in
your bed and believe whatever you want to believe. You take the red
pill, you stay in Wonderland.
so, brothers and sisters… which pill u want to take?
(zaynuri Ridwan; http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150349731871428)
Mengintip “sesuatu” dibalik E-KTP
PENGADAAN Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sedang berlangsung.
Sosialisasi proyek berbiaya Rp5,84 triliun itu terus digalakkan. Salah
satu manfaat yang menjadi ‘jualan’ pemerintah adalah, e-KTP akan mampu
berkontribusi bagi keamanan nasional, khususnya dalam menekan ruang gerak para teroris.
Terduga teroris kerap ditemui dengan banyak identitas palsu. Dengan
e-KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK), identitas palsu diklaim
akan segera dapat diketahui karena tertolak oleh sistem.
Keyakinan tersebut boleh jadi dapat diperdebatkan.
Di era teknologi informasi yang semakin canggih, data keamanan
nasional tingkat tinggi sekalipun rentan terhadap aktivitas para peretas
dan pencuri data. Kasus bocornya ratusan ribu dokumen rahasia Amerika
Serikat (AS) oleh Wikileaks bisa menjadi contoh.
Namun, pemerintah tetap yakin. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sang pemilik proyek, mengklaim e-KTP a la Indonesia tidak akan dapat ditembus serta disalahgunakan. Keyakinan itu mereka wujudkan dengan melibatkan bantuan dari 15 lembaga seperti BIN, BPPT, ITB, dan Lembaga Sandi Negara.
Pertanyaannya kini, bagaimanakah jika penyalahgunaan data e-KTP dilakukan negara?
Satu hal yang mungkin belum menjadi concern publik, dalam kaitan dengan e-KTP, adalah keterlibatan L-1 Identity Solutions sebagai penyuplai perangkat perekam sidik jari atau AFIS (Automated Fingerprint Identification System) dalam proyek e-KTP di Indonesia.
Perhatian publik selama ini tertuju pada dugaan adanya kolusi dan korupsi dalam tender pengadaan e-KTP. Seperti pernah dilaporkan secara khusus oleh sebuah media nasional,
pemenang tender sudah dirancang sedari awal. Sejumlah rapat, yang
dihadiri pihak penawar (yang kemudian menjadi pemenang), sejumlah vendor
(termasuk perwakilan L-1), dan pemilik tender (pemerintah) terjadi jauh
sebelum pemenang tender diumumkan.
L-1 Identity Solutions
TERLEPAS dari semua itu, ada baiknya kita mencermati keberadaan L-1
dalam proyek e-KTP (L-1 mengutus seorang Lead Solution Architect ke
Indonesia selama pengadaan e-KTP), bukan dalam konteks kolusi proyek
tapi keamanan nasional.
L-1 Identity Solutions Inc., perusahaan besar dengan nama besar, tapi kredibilitas meragukan. L-1, berbasis di Stamford, Connecticut, AS, adalah salah satu kontraktor pertahanan terbesar.
Perusahaan, yang berdiri pada Agustus 2006, ini mengambil spesialisasi
dalam bidang teknologi identifikasi biometrik (seperti sidik jari,
retina, dan DNA). L-1 juga menyediakan jasa konsultan dalam bidang
intelijen.
Pendapatan L-1 per tahun diperkirakan mencapai angka US$1 miliar pada 2011. Stanford Washington Research Group,
dalam lapoannya, menyebut L-1 sebagai pemimpin pasar internasional
proyek identitas biometrik yang diperkirakan bernilai US$14 miliar
selama periode 2006-2011.
L-1 menebar proyek hingga ke lebih daripada 25 negara. Di AS, L-1
digandeng Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri
dalam proyek visa, paspor, dan SIM. Sejumlah kalangan menyebut L-1 kian
memonopoli bisnis identitas di AS, dan secara global, apalagi setelah
mereka diakuisisi Safran Morpho, perusahaan keamanan multinasional asal Prancis, pada Juli 2011.
Jika melihat siapa di balik L-1, maka kita tak perlu heran melihat prestasi “bebas-hambatan” di atas. Manajemen puncak L-1,
secara khusus, memiliki sejarah hubungan dekat dengan CIA, FBI, dan
organisasi pertahanan AS lainnya. Mereka, pada umumnya, memiliki latar
belakang dan rekam jejak yang seharusnya membuat kita tidak nyaman.
L-1 mencatat nama George Tenet, mantan Direktur CIA, dalam dewan direktur. Pada 2006, CEO L-1 Robert V LaPenta pernah berujar, “Anda tahu, kami tertarik dengan CIA, dan kami memiliki Tenet.” Tenet terkenal berkat kemahiran berdusta. Dia terungkap memberi informasi intelijen palsu kepada diplomat AS soal keberadaan senjata pemusnah massal di Irak, yang kemudian berujung pada invasi Irak 2003.
Ada nama lain, seperti Laksamana James M Loy sebagai direktur.
Karir Loy merentang dari komandan US Cost Guard (1998-2002), wakil
menteri untuk Keamanan Transportasi (2002-2003), dan wakil menteri
keamanan dalam negeri (2003-2005).
Robert S Gelbard,
salah satu anggota dewan direktur, pernah menjabat sebagai Utusan
Khusus Presiden AS untuk Balkan pada masa pemerintahan Bill Clinton.
Yang lebih menarik, mantan wakil menteri luar negeri 1993-1997 itu
pernah bertugas di Indonesia sebagai duta besar pada 1999-2001.
Nama direktur lainnya adalah BG (Buddy) Beck, bekas anggota Dewan Sains Pertahanan (DBS), yang memberi rekomendasi perkara iptek kepada militer AS. Lalu, Milton E Cooper, mantan kepala Dewan Penasehat Sains Nasional, lembaga yang menginduk kepada militer. Dan Louis H Freeh, mantan direktur FBI (1993-2001).
Safran Morpho, pemilik baru L-1 juga tak terlalu ‘bersih’ dalam urusan figur kontroversial. Di sana duduk Michael Chertoff, mantan menteri Keamanan Dalam Negeri AS pada masa pemerintahan George W Bush, sebagai penasehat strategis.
Chertoff adalah salah seorang perancang USA PATRIOT Act, undang-undang
yang menumbuhsuburkan pengawasan dan penyadapan oleh FBI terhadap
telepon, e-mail, dan data pribadi lainnya. Chertoff juga pendukung
maniak pemindaian seluruh tubuh (full body scanning) (teknologi pemindai “full body” yang diterapkan AS mampu
menunjukkan permukaan telanjang kulit di bawah pakaian, termasuk lekuk
payudara dan kemaluan. Bahkan, versi terbaru dilaporkan bisa
menghadirkan image “full color”).
Nama di atas tentu saja tak bisa secara langsung dihubungkan dengan
potensi ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional Indonesia. Namun,
kedekatan mereka dengan intelijen dan militer negara Abang Sam sudah
seharusnya menjadi perhatian.
Di AS sendiri, muncul gerakan publik “Stop Real ID”. Gerakan itu
menolak proyek “Real ID” (semacam e-KTP). Demikian pula di India.
Koalisi LSM pemerhati hak sipil membentuk gerakan yang menolak proyek
Unique Identity Number (UID) yang disebut “Aadhaar”. Gerakan itu mereka
sebut “Say No to Aadhaar”. Baik Real ID di AS maupun Aadhaar di India
melibatkan L-1 Identity Solutions sebagai vendor dan konsultan.
Potensi Ancaman
POTENSI ancaman e-KTP terhadap keamanan nasional, lebih jauh, bisa dilihat dengan memerhatikan indikasi berikut.
Pertama,
adanya upaya untuk secara internasional berbagi data biometrik. AS,
pada khususnya, adalah negara yang bersikeras untuk berbagi data
biometrik dengan negara lain.
Dalam kesaksian di hadapan Subkomite Keamanan Dalam Negeri DPR AS
pada 2009, Kathleen Kraninger (Deputi Asisten Menteri untuk Kebijakan)
dan Robert A Mocny (Direktorat Perlindungan Nasional US-VISIT) menyatakan sebagai berikut:
“Untuk memastikan bahwa kita mampu menghancurkan jaringan teroris sebelum mereka sampai ke Amerika Serikat, kita harus berada di depan dalam mengendalikan standar biometrik internasional. Dengan mengembangkan sistem yang kompatibel, kita akan mampu berbagi informasi teroris internasional dengan aman demi memperkuat pertahanan kita.”
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh S Magnuson pada 2009 pada majalah “National Defense”, berjudul “Defense Department Under Pressure to Share Biometric Data”, pemerintah AS mengklaim telah memiliki kesepakatan bilateral dengan sekitar 25 negara untuk berbagi data biometrik.
“Setiap kali pemimpin negara lain mengunjungi Washington dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri akan memastikan bahwa mereka menandatangani kesepakatan (berbagi data biometrik) tersebut.”
Washington tampaknya tak hanya menempuh cara formal. Seperti pernah
diungkap dalam kabel diplomatik AS—yang dibocorkan Wikileaks—Kementerian
Luar Negeri AS menginstruksikan diplomat AS untuk secara rahasia
mengumpulkan identifikasi biometrik para diplomat negara lain.
FBI tak ketinggalan. Seraya mengklaim ingin membuat “dunia lebih aman”, FBI mendesak inisiatif berbagi data biometrik di antara negara-negara.
Kedua,
lemahnya undang-undang terkait pengamanan database kependudukan,
terutama jika memperhatikan upaya berbagi data dengan negara lain.
UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sangat minim mengatur isu perlindungan dan keamanan data.
Isu berbagi data dengan negara lain sama sekali tak diatur. Bahkan,
lebih jauh, UU tersebut ‘memberi’ celah bagi pemegang kekuasaan untuk
“mengubah”, “meralat”, dan “menghapus” tanpa sepengetahuan sang pemilik
data, warga negara itu sendiri. Ini rentan bagi upaya manipulasi data
demi kepentingan tertentu.
Aturan turunannya lebih buruk lagi. PP 37/2007
membuka peluang bagi siapa pun, termasuk pihak swasta, untuk memperoleh
dan menggunakan database kependudukan dengan syarat yang ringan: izin menteri.
Di sini lagi-lagi, hak konstitusional warga negara untuk dilindungi
privasinya terganggu. Tak ada satu klausul pun dalam peraturan itu yang
mewajibkan adanya pengetahuan si pemilik data.
Tekanan negara Abang Sam terhadap Indonesia untuk berbagi data
biometrik sangat mungkin terjadi. Apalagi mantra “perang melawan
teroris” masih terlampau sakti bagi sebagian besar pejabat Indonesia
yang tak punya nyali. Terlebih kata ‘berbagi’ kerap tak berlaku timbali
balik, alias sepihak demi keuntungan negara yang lebih kuat.
Menjual privasi demi keamanan negara (aman dari teroris, katanya)
mungkin bisa dianggap sikap patriotis seorang warga negara. Namun,
seperti dikatakan salah seorang “founding father” AS, Benjamin Franklin:
“People willing to trade their freedom for temporary security deserve neither and will lose both.”
Apakah kita mau kehilangan keduanya? (jemala)
Lihat disini Cerita Anekdot:
JIKA e-KTP MULAI DIBERLAKUKAN
Inilah rekaman percakapan telepon pemesanan
Pizza pada thn 2020
(E-KTP) ;
Pizza pada thn 2020
(E-KTP) ;
Operator [O]: Terima kasih anda telah menghubungi
… Pizza Hot, Ada yg bs saya bantu?
Konsumen [K]: Saya mo pesan pizza.
O: Boleh minta nomor KTP anda?
K: 6102049998-45- 54610.
O: Ok pak Bejo, dr database kami bpk tinggal di Jl
Tebet 16, tlp rmh bpk 02182926378, kantor
021665872673 Hp 0818784022
K: Apa saya bs pesan Seafood Pizza?
O: Itu bkn ide yg bagus pak.
K: Kenapa?
O: Dr medical record bpk, bpk punya tekanan darah
tinggi dan kolestrol yg berlebihan.
K: Jd kamu merekomendasikan apa?
O: Mungkin bpk bs memesan Low Fat Hokkien Mee
Pizza.
K: Dr mana kamu tahu kalo saya bakal suka?
O: Hmmm minggu lalu bpk baru pinjam buku dg judul
“Popular Hokkien Dishes” di Perpustakaan Nasional.
K: Ok terserah, sekalian saya pesan paket keluarga,
brp semuanya?
O: Tp paket keluarga kami tdk cukup utk anak anda
yg 7 org pak, total keseluruhan Rp. 190.000. K: Bs saya bayar dgn Kartu Kredit?
O: Bpk hrs membayar cash, kartu kredit bpk telah
over limit, & bpk punya utang di bank sebesar Rp.
5.350.000 sjk bln Agustus lalu, itu blm termasuk
denda tunggakan kontrak rmh & kendaraan.
K: Ooh ya sdh, nanti saya ke ATM aja utk narik duit
sblm org mu dtg.
O: Mgkn nggak bs jg pak, record bpk menunjukkan
bahwa batas bpk menarik uang di ATM habis.
K: Busyet…..
udahlah anterin aja pizzanya kesini,
saya akan bayar cash disini, brp lama Pizza diantar?
O: Sekitar 45 menit pak, tp kalo bpk tdk bs nunggu,
bpk bs ngambilnya sendiri dg motor bebek bpk yg
butut.
K: APA…?
O: Menurut catatan kami, bpk memiliki motor bebek
tahun 2000 dg nopol B3344CD betul kan?
K: Sialan, bangsat, kagak sopan banget seh buka-
buka record gue, blom prnh ngerasain ditonjok ya!
O: Hati2 dgn ucapan bpk, apa bpk tdk ingat 15 Mei
2010 bpk prnh di penjara 3 bln krn mengucapkan
kata kotor pd polisi?
K: (Diam, pusing 700 keliling)
O: Ada yg lain pak? K: BATALIN AJA!!!
… Pizza Hot, Ada yg bs saya bantu?
Konsumen [K]: Saya mo pesan pizza.
O: Boleh minta nomor KTP anda?
K: 6102049998-45- 54610.
O: Ok pak Bejo, dr database kami bpk tinggal di Jl
Tebet 16, tlp rmh bpk 02182926378, kantor
021665872673 Hp 0818784022
K: Apa saya bs pesan Seafood Pizza?
O: Itu bkn ide yg bagus pak.
K: Kenapa?
O: Dr medical record bpk, bpk punya tekanan darah
tinggi dan kolestrol yg berlebihan.
K: Jd kamu merekomendasikan apa?
O: Mungkin bpk bs memesan Low Fat Hokkien Mee
Pizza.
K: Dr mana kamu tahu kalo saya bakal suka?
O: Hmmm minggu lalu bpk baru pinjam buku dg judul
“Popular Hokkien Dishes” di Perpustakaan Nasional.
K: Ok terserah, sekalian saya pesan paket keluarga,
brp semuanya?
O: Tp paket keluarga kami tdk cukup utk anak anda
yg 7 org pak, total keseluruhan Rp. 190.000. K: Bs saya bayar dgn Kartu Kredit?
O: Bpk hrs membayar cash, kartu kredit bpk telah
over limit, & bpk punya utang di bank sebesar Rp.
5.350.000 sjk bln Agustus lalu, itu blm termasuk
denda tunggakan kontrak rmh & kendaraan.
K: Ooh ya sdh, nanti saya ke ATM aja utk narik duit
sblm org mu dtg.
O: Mgkn nggak bs jg pak, record bpk menunjukkan
bahwa batas bpk menarik uang di ATM habis.
K: Busyet…..
udahlah anterin aja pizzanya kesini,
saya akan bayar cash disini, brp lama Pizza diantar?
O: Sekitar 45 menit pak, tp kalo bpk tdk bs nunggu,
bpk bs ngambilnya sendiri dg motor bebek bpk yg
butut.
K: APA…?
O: Menurut catatan kami, bpk memiliki motor bebek
tahun 2000 dg nopol B3344CD betul kan?
K: Sialan, bangsat, kagak sopan banget seh buka-
buka record gue, blom prnh ngerasain ditonjok ya!
O: Hati2 dgn ucapan bpk, apa bpk tdk ingat 15 Mei
2010 bpk prnh di penjara 3 bln krn mengucapkan
kata kotor pd polisi?
K: (Diam, pusing 700 keliling)
O: Ada yg lain pak? K: BATALIN AJA!!!
Kesamaan e-KTP dengan Program RFID Chip Yahudi
Reviewed by Unknown
on
9:31 PM
Rating:
Kenapa ya kita selalu berpikir negatif, ada ada saja alasan kalu tidak suka atau kalu kita tidak dapat bagian he he
ReplyDelete