Pemikiran Dari Bapak I Made Wiryana Untuk GNU/Linux FOSS di Indonesia

Sumber (NB : tidak bisa diakses lagi, ini copas dari file html) : http://www.infolinux.web.id/site/sectionscbe3.html?op=viewarticle&artid=14


I Made Wiryana, Promotor Solusi Alternatif TI bagi Indonesia
Reporter: Adi & Oet


Biodata
Nama : I Made Wiryana
Jenis kelamin: Pria
Tempat dan tanggal lahir: Dabo - Singkep, November 24, 1966
Kewarganegaraan: Indonesia
Website: http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/made/ (NB : situs ini sudah tidak aktif lagi setelah beliau menyelesaikan S3 di Jerman)


Dear Linuxer,
Pada edisi perdana ini kami menyajikan hasil wawancara dengan Mas I Made Wiryana, salah satu tokoh Linux Indonesia yang sangat concern pada permasalahan hak cipta dan perkembangan teknologi informasi, serta tanpa letih mempromosikan dan membangkitkan kepedulian masayarakat akan solusi-solusi alternatif teknologi informasi bagi Indonesia. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi S3 di Jerman. Wawancara yang kami lakukan via email selama kurang lebih sepuluh hari ini, sangat terbantu dengan kebaikan hati Mas Made yang berinisiatif untuk menampilkan arsip-arsip yang memang berkenaan dengan isu-isu hangat seputar teknologi informasi.


InfoLINUX: Apa saja yang sudah Pak Made buat untuk Linux, terutama Linux Indonesia?
I M W (I Made Wiryana): Jangan panggil pak-lah, panggil mas atau nama saja...khan masih sama-sama muda. Memang Linux cocok untuk anak muda atau orang yang bersemangat muda..he.he.heh.e. OK.. saya teruskan...berkaitan dengan pengembangan Linux sendiri, terus terang kontribusi saya belum begitu banyak dari sisi teknisnya, saya (dan grup saya) menterjemahkan YaST, dan sistem instalasi SuSE Linux, program wvdial, dan juga manual page, serta KDE. Tentunya tidak semuanya saya kerjakan sendirian.. saya kan bukan Bandung Bondowoso atau Superman. Saya banyak dibantu rekan dosen Universitas Gunadarma untuk translasi SuSE, juga dibantu para mahasiswa Gunadarma terutama untuk manual page, dan juga banyak para Linuxer Indonesia lainnya yang sebagian besar terdiri dari para mahasiswa dan praktisi TI. Saat ini fokus saya belumlah berat pada sisi teknis di Linux, tetapi lebih kepada sisi masyarakat dan penggunanya. Dengan kata lain saya mencoba mempromosikan dan membangkitkan kepedulian masyarakat akan solusi-solusi alternatif. Memang terasa cukup sulit apalagi dengan kondisi masyarakat yang cenderung terpaku pada satu produk. Untungnya rekan-rekan KPLI sangat kolaboratif sekali dalam hal ini. Hal itu saya lakukan misal dengan membuat terjemahan ke bahasa Indonesia, sehingga pengguna di Indonesia akan tertolong, dan apabila di kemudian hari kita ingin membuat distribusi Indonesia sendiri, komponen pendukungnya telah siap. Kalau kita sudah punya beragam GUI misal KDE, GNOME, Windowmaker berbahasa Indonesia, manual page, HOWTO dan informasi lainnya maka kita tinggal membundelnya menjadi suatu distribusi Linux Indonesia. Bukankah ini hal yang menarik? Di sisi pemasyarakatan Linux di Indonesia, saya berusaha secara aktif semampu saya untuk memasyarakatkan Linux, entah melalui media massa, tulisan, ataupun mailing list, baik milis komputer ataupun milis umum. Hal ini saya sadari sebab masalah TI ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kita semua. Kasus pembajakan adalah salah satu contohnya. Memang dengan keaktifan saya ini sering menimbulkan suara miring, misal dianggap fanatik buta, atau salesnya Linux Inc. dan lain sebagainya, bahkan banyak yang menyangka saya anti Microsoft karena saya sering menunjukkan kekurangan produk Microsoft. Padahal tujuan saya hanyalah satu, yaitu mencoba memberikan informasi secara luas, kepada publik. Sehingga mereka dapat menentukan pilihan yang akan menguntungkan dalam jangka panjang, tidak jangka pendek saja. Seringkali publik tidak memahami permasalahan ataupun posisinya yang lemah. Pengetahuan tentang teknologi komputer sering dikaburkan oleh isue yang dilontarkan media pemasaran, seperti FUD, benchmarketing, penggunaan istilah atau nama baru untuk teknologi lama dan lain sebagainya yang membuat pemahaman teknologi sebenarnya menjadi sulit dilakukan oleh masyarakat. Dan saat ini Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI misalnya) relatif belum mengambil posisi untuk membela konsumen perangkat lunak. Di samping itu juga saya ingin atau punya cita-cita tenaga kerja TI kita ini dihargai dan punya posisi setara di dunia, jangan hanya dikenal sebagai pembajak perangkat lunak atau hanya sebagai tukang operator. Untuk itulah saya berusaha meluruskan sesuai posisi saya sebagai akademisi untuk menjelaskan hal tersebut dari sudut pandang ilmu komputer. Bila hal ini seperti menyerang salah satu produk, mungkin itu menjadi suatu resiko dari kesalahan yang dilakukan oleh produk tersebut. Saya selalu berusaha mengambil sumber ilmiah seperti jurnal ataupun bahasan ilmiah dalam hal ini. Jelas ini sering menimbulkan prasangka yang bukan-bukan, akan tetapi saya selalu berusaha terbuka untuk berdiskusi (tentunya dengan sumber ilmiah lho).


InfoLINUX: Di mana mas Made kenal Linux, dan apa alasannya?
I M W: Perkenalan saya bisa dikatakan dimulai pada saat saya menempuh studi S2 di Universitas Edith Cowan - Perth Australia. Saya masih menggunakan MS Windows 3.11 dan OS/2 untuk PC saya. Di kampus saya sering memakai AIX (dg XWindow) untuk aplikasi theorema prover dan juga untuk prolog saya pakai SICSTUS di AIX tersebut. Sedangkan untuk animasi saya memakai ALIAS di Silicon Graphics dengan IRIX-nya. Bisa dikatakan pergaulan erat saya dengan Unix dimulai saat itu. Saya merasakan mudah dan enaknya UNIX itu, saya bisa mengatur prioritas pekerjaan dengan nice, meletakkan job di background, membuat job tetap bekerja sementara saya logout (nohup), juga saya bisa login ke satu mesin menjalankan aplikasi X, login dari rumah untuk mengecheck pekerjaan saya. Bahkan dari mesin IRIX saya bisa mengirim file hasil render ke mesin PC dan memerintahkan video U-Matic untuk merekam, semua itu serba otomatis via script. Jadi mungkin definisi mudah bagi saya sedikit berbeda dengan pengguna generasi GUI ..he..he.he. Mudah bagi saya lebih kepada seberapa mudahnya sistem dapat membantu saya mengerjakan tugas, bukan sekedar mudah interaksinya saja. Saya juga merasakan stabilitas sistem operasi UNIX ini sangat baik sekali, jelas ini memudahkan bagi saya yang membutuhkan jalannya aplikasi tanpa hang selama 1 minggu atau lebih (misal untuk aplikasi theorema prover dan rendering). Begitu juga membandingkan OS/2 dengan MS Windows 3.11 saya menjadi mulai terasa bahwa kestabilan sistem operasi desktop juga sangat memudahkan kerja. Sehingga saya mengharapkan memiliki sistem operasi seperti itu di komputer saya di rumah. Terus terang keinginan ini bertambah lagi ketika saya ingin menginstall SNNS (Stuttgart Neural Network Simulator), karena riset saya yang berkaitan dengan Neural Network ingin mencoba software ini. Sehingga saya bisa dikatakan ngebet sekali dengan si Unix ini. Memang saya sempat membeli MINIX dengan buku Tannenbaum, tetapi tidak berhasil saya instal karena menuntut sistem yang 100% kompatibel dengan IBM PC. Juga saat itu saya nyaris membeli Coherent. Saat itu di Perth, saya bergabung dengan ISP yang bernama Dialix (www.dialix.oz.au) Setiap bulan kami punya acara branch - breakfast and lunch bersama. Di sana para administrator Unix sering bertemu dan saling bertukar pengalaman. Mendengar para administrator bertukar pengalaman tentang tip dan trick di UNIX terus terang saya jadi terbuka tentang kemampuan Unix ini. Dari acara ini pula saya mendengar WAUUG (Western Australian Unix User Group), yang ternyata bermarkas di kampus saya, dan saya mengenal Linux dan FreeBSD. Saat itu juga saya sudah mulai membaca-baca tentang Windows NT dan segala hype-nya. Terus terang saya sempat jatuh cinta dengan konsepnya, yaitu yang berbasiskan microkernel dan sebagainya. Sayangnya ini hanya janji saja, setelah saya mencoba, saya tetap tak mendapatkan kemampuan seperti pada lingkungan UNIX. Kembali ke perkenalan saya dengan Linux, dari server di kampus Edith Cowan Uni saya mendownload ke lebih dari 50 disket, Linux yang pertama kali saya install (saat itu belum ada istilah distribusi). Saat pertama ya meraba-raba juga, dan bermodalkan FAQ dan beberapa informasi dari newsgroup dan beberapa mailing list (termasuk pau-mikro) membantu untuk bertukar pengalaman. Sejak itulah saya memakai Linux hingga saat ini. Pulang ke Indonesia saya memakai Linux dan untuk desktop masih bertahan dengan Windows 3.11 walau telah ada Windows 95. Pengalaman membangun jaringan Internet di Universitas Gunadarma menjadikan saya yakin dengan kemampuan Linux dan program Open Source. Saat itu kami memutuskan (dengan alasan biaya dan perangkat keras) untuk menggunakan Linux daripada Windows NT. Termasuk untuk fitur Network Address Translation Table yang tersedia di Linux (IP Masquerading) dan saat itu Wingate belum ada. Setelah saya memulai riset saya di Jerman saya memakai Linux secara total. Lingkungan kelompok kerja saya memakai Sun dengan Solaris. Jadi bisa dikatakan Unix-based. Saya memilih memakai Linux ketimbang Solaris karena alasan ketersediaan source code dan kemudahan utak-atiknya. Sistem operasi seperti Windows bisa dikatakan minim sekali digunakan di kelompok kerja kami. Rata-rata hanya sebagai konverter saja, yaitu ketika menerima file dari pengguna Windows dalam format MS Word atau Power Point. Kami lebih suka memanfaatkan format standard seperti SGML, LaTEX atau HTML, karena lebih menjamin file tersebut berusia lama, dan bisa diolah di platform manapun.


InfoLINUX: Bagaimana pendapat mas Made tentang pemakaian Linux di Bisnis? Apa saja faktor pendorong dan penolaknya?
# I M W: Linux itu sangat cocok untuk dunia bisnis, sehingga tidak mengherankan saat ini banyak perusahaan dan pemerintah mulai memfokuskan kepada pengembangan infrastruktur e-commercenya berbasiskan Open Source, misal Norwegia, dan juga EU. Pada dasarnya pertimbangan utama dalam aplikasi bisnis adalah masalah BIAYA, dalam hal ini termasuk: Biaya perangkat keras, termasuk perangkat keras tambahan yang dibutuhkan karena merubah sistem operasi. Linux dapat beroperasi dengan menggunakan hardware yang lebih rendah. Sebagai perbandingan untuk menjalankan NT server, minimal membutuhkan processor Pentium dengan 32 MB, sedang untuk memberikan service yang sama, LINUX hanya membutuhkan Pentium 99 MHz (bahkan prosesor 486 pun cukup) dengan RAM sebesar 16 MB.
# Biaya lisensi perangkat lunak baik. Kita harus sudah mulai berbicara dalam kerangka legalitas. Program bajakan sebaiknya tidak digunakan lagi. Sehingga perhitungan biaya harus termasuk perhitungan pembelian perangkat lunak sistem operasi, dan juga perangkat lunak aplikasi.
# Biaya perawatan, termasuk perjanjian dukungan teknis, biaya yang hilang ketika sistem down. Sebagai contoh ketika BEJ mengalami down ketika workstation tak dapat memboot atau ketika suatu sistem tak dapat digunakan karena harus dibersihkan dari virus. Dalam menghitung biaya perawatan, sebaiknya bukan saja bergantung pada 'seberapa mudah awal pengoperasian tugas perawatan' tetapi juga termasuk seberapa sering perangkat tersebut tak bekerja (down). Sebab setiap kerusakan akan memakan biaya perawatan, baik tenaga maupun waktu. Linux server, setelah diinstal dengan benar, relatif membutuhkan waktu maintain yang kecil.
# Biaya yang harus dikeluarkan ketika data hilang karena kesalahan program di sistem operasi atau perangkat keras yang dipersyaratkan oleh sistem operasi. Biaya ini bukan saja biaya kerugian yang terjadi saat itu, tapi juga termasuk resiko kehilangan reputasi, dan juga proses pengembalian data.
# Biaya untuk personal yang menangani sistem administrasi. Biasanya Linux memungkinkan diadministrasi secara remote, hal ini jelas mengurangi kebutuhan personal di tempat-tempat tertentu. Beberapa perusahaan web-hosting Indonesia yang meletakkan servernya di USA telah melakukan hal ini, sehingga dapat menekan biaya operasionalnya.
# Biaya pelatihan termasuk biaya pelatihan awal dan biaya pelatihan ulang setiap ada perubahan versi sistem. Sepintas lalu penggunaan Linux akan meminta biaya investasi pelatihan yang cukup tinggi. Tetapi hal itu akan terbayar dengan dasar pengetahuan yang mereka dapatkan tidak hanya sekedar sebagai pengguna, tapi bisa berkembang sebagai penyedia kebutuhan teknologi Informasi perusahaan itu di masa mendatang. Karena pengetahuan yang mereka dapatkan dalam menggunakan Linux merupakan pengetahuan yang sifatnya generic. Hal ini akan merupakan investasi 'brainware' bagi perusahaan tersebut secara tidak langsung.
# Biaya migrasi, termasuk biaya ekstensibiltas, dan skalabilitas untuk perkembangan di masa mendatang. Seringkali orang terlena dengan suatu solusi yang ternyata mengakibatkan dia harus mengupgrade dan melakukan migrasi datanya setiap ada versi yang baru. Di Linux hal ini sedikit sekali terjadi, disebabkan sebagian besar memanfaatkan format yang standar dan bersifat Open.

Dari sisi biaya perangkat keras dan lunak sudah barang tentu Linux menawarkan suatu solusi yang sangat menarik sekali. Di samping rendahnya biaya investasi perangkat lunak, dengan perangkat keras yang sama maka kecepatan yang ditawarkan oleh LINUX lebih tinggi dari OS komersial. Begitu juga biaya total pelatihan dan perawatan juga rendah sehingga Linux ini sebenarnya sangat cocok untuk penggunaan di dunia bisnis terutama di Indonesia yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Sayangnya masih belum banyak yang melirik. Hal lain adalah kenyataan bahwa pemanfaatan Linux di lingkungan perusahaan akan mendorong perusahaan tersebut melakukan konsentrasi "investasi di bidang sumber daya manusia (SDM)" misal dalam bentuk pelatihan daripada investasi pembelian perangkat lunak. Dengan memfokuskan pada investasi SDM maka perusahaan akan memiliki fondasi infrastruktur TI yang kokoh, baik dari segi hardware, software maupun brainware.


InfoLINUX: Walau adanya keuntungan seperti itu, mengapa bisnis di Indonesia tampaknya masih berat menggunakan Linux ini sebagai suatu solusi?
I M W: Sebetulnya banyak beberapa kendala yang juga diakibatkan beberapa image yang ada di Indonesia, antara lain:
# Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa di Indonesia hampir semua atau sebagian besar "mission critical job" masih ditangani secara manual karena masih populernya image bahwa "komputer mudah crash". Anggapan ini mungkin timbul dari pemakaian secara luas suatu sistem operasi yang kebetulan memang sering crash tanpa sebab atau tanpa adanya suatu penjelasan.
# Keraguan mengenai kemampuan LINUX untuk diaplikasikan dalam pekerjaan "dunia nyata". Mungkin hal ini tak luput dari kurang semaraknya pemberitaan media massa Indonesia tentang pemanfaatan Linux ini. Bisa dikatakan media massa di Indonesia masih didominasi akan satu produk, sehingga teknologi alternatif seperti Linux, FreeBSD; BeOS, QNX relatif masih sedikit diberitakan. Padahal solusi dengan Linux telah banyak dimanfaatkan perusahaan besar seperti CISCO, FIAT untuk operasinya, bahkan salah satu hotel di Jerman menggunakan Linux untuk seluruh peralatannya, dan Bank di Jermanpun mulai memakainya.
# Sering timbul pengertian bahwa sesuatu yang murah itu adalah "murahan" dan tak bermutu. Padahal kita tahu Internet pun beroperasi dengan perangkat lunak yang sebagian besar Open Source.
# Adanya anggapan bahwa LINUX sebagai freeware tidak memiliki dukungan teknis purna jual. Anggapan ini tidak tepat lagi dengan adanya masyarakat pengguna LINUX di seluruh dunia yang saling berhubungan via Internet, serta tersedianya dukungan dokumentasi hingga ke source code yang bebas. Sebetulnya di satu sisi ini malah dapat membuka kesempatan bisnis bagi para praktisi TI Indonesia.
# Adanya mitos bahwa LINUX hanyalah untuk para programmer atau yang memiliki pengalaman dan bukan untuk "orang biasa". Padahal pada kenyataannya bila telah dikonfigurasi dengan benar, maka end user pun tak masalah menggunakan Linux ini. Bahkan di Makassar beberapa Warnet (Warung Internet) telah menggunakan Linux untuk semuanya, baik server hingga client. Saya sendiri sering mencobakan Linux ini ke anak-anak dan orang awam, mereka tidak mengalami kesulitan. Memang terkadang timbul kesulitan itu adalah bagi orang yang telah terbiasa dengan suatu jenis sistem operasi, jadi masalahnya adalah kebiasaan saja.
# Adanya keraguan atas dukungan dari pihak vendor komersial terhadap platfrom LINUX ini. Hal ini memang beralasan, karena dengan besarnya investasi yang telah dilakukan untuk aplikasi sebelumnya, dan keinginan dunia bisnis memperoleh jaminan operasionalnya. Akan tetapi ini telah berubah, vendor besar seperit IBM, SCO, Compaq juga telah memberikan jaminan untuk penggunaan Linux pada produknya.
# Ketersediaan source code secara terbuka menjadikan orang awam ragu akan faktor sekuriti dari LINUX. Tetapi keterbukaan source code pada pengguna ini sebetulnya menjadikan pengguna "dapat memeriksa dan menguji secara menyeluruh" program yang digunakan. Bahkan para ekspert sistem sekuriti Uni Eropa, dan Inggris lebih menyarankan penggunaan perangkat lunak Open Source ini.


InfoLINUX: Apa usul Pak Made untuk ngomporin pemakaian Linux di kalangan bisnis?
I M W: Caranya...??? Hm....manfaatkanlah dan publikasi seluas-luasnya melalui media massa dan sebagainya. Juga jangan lupa dari sisi pendidikan atau pelatihan perlu diperbanyak, karena pemakai bisnis menghendaki ketersediaan dukungan teknis di lapangan. Tanpa adanya pelatihan yang dapat menghasilkan SDM untuk dukungan teknis yang memadai, maka dunia bisnis akan tetap ragu-ragu untuk memulai pemakaian Linux di lingkungannya. Memang di sisi inilah sebetulnya diharapkan partisipasi dunia pendidikan Indonesia, karena memilih Linux bukan menguntungkan salah satu vendor atau sistem, tapi akan menguntungkan konsumen dalam hal ini anak didik karena memberikan banyak pilihan. Karena pada Linux tak ada satu sistem tunggal atau vendor tunggal yang akan diuntungkan.


InfoLINUX: Segmen mana saja yang tepat untuk mulai di-linux-kan? dan berapa besar persentase segmen itu terhadap keseluruhan dunia IT Indonesia?
I M W: Segmen apa saja, lha terus terang kita ini sudah di ambang tuntutan program bajakan (sesuai perjanjian Genewa), dan kesulitan ekonomi untuk pembelian perangkat lunak. Linux dan Open Source ini dapat dikatakan sebagai dewa penyelamat untuk keluar dari situasi ini dan keluar dari ketergantungan kita. Hitung saja bila tiap kantor harus membayar lisensi untuk perangkat lunaknya. Bisa-bisa kita bangkrut. Satu hal lagi, perlu kita pahami dalam konsepnya, Linux itu cuma raw material. Tinggal tergantung kita bagaimana mengemasnya, tentunya dengan pengembangan yang memadai. Sebagai contoh setahun lalu banyak orang bilang Linux tidak cocok untuk segmen PDA, tapi buktinya di tahun ini Samsung dengan kreatifnya mengembangkan sehingga Linux cocok untuk segmen PDA. Atau setengah tahun lalu orang bilang Linux tidak cocok untuk level Enterprise, tapi di CEBIT kemarin IBM mendemonstrasikan Linux yang dijalankan di mainframenya, dan Motorola kini merelease Linux yang High Availability untuk aplikasi telekomunikasi. Jadi bisa saja, misal ada perusahaan Indonesia, bisa mengembangkan Linux sehingga cocok untuk berbagai segmen, dari bisnis, pendidikan, riset. Tinggal semangat praktisi TI kita saja saya rasa, biasa membeli barang jadi, atau bisa membuat barang jadi. Memang tinggal belanja terasa enak, apalagi kalau punya duit... tapi tetap kita jadi tergantung. Faktor inilah yang harus dipertimbangkan. Hal inilah yang mendorong EU (Uni Eropa) memilih Open Source untuk infrastruktur e-commerce mereka, karena mereka tidak mau tergantung di masa depan. Jadi perhitungan untung rugi harus dilakukan untuk jangka panjang bukan hanya jangka pendek (apalagi hanya untuk perorangan atau satu perusahaan saja). Saya berbicara hal ini dalam ruang lingkup Indonesia.


InfoLINUX: Kita mesti mulai dari mana?
I M W: Jawabnya mudah, dari diri sendiri..he.he. Maksud saya kalau kita ingin memulai, kita bisa memulai dari penyadaran masyarakat sekitar kita tentang adanya solusi alternatif. Dan kita bisa memulai yang paling mudah dengan memanfaatkan Linux dan Open Source pada pekerjaan sehari-hari kita. Kemudian kita perkenalkan di sekeliling kita, di sekolahan, di universita, di kantor dan sebagainya. Saya salut dengan kantor seperti Badan Pertanahan Sulawesi Selatan yang sudah mulai mencoba solusi Open Source untuk GIS-nya, atau Pertamina yang mulai mencoba memanfaatkan Linux, atau juga beberapa institusi lainnya. Ini langkah yang sangat positif apalagi bila diikuti insitusi lainnya, karena akan dapat dilakukan penghematan besar-besaran.


InfoLINUX: Apa ada contoh-contoh sukses dari pemanfaatan Linux di segmen itu?
I M W: Wah.. banyak sekali sebetulnya. Di Indonesia sendiri banyak ISP (Internet Service Provider) yang memanfaatkannya untuk operasionalnya, PT Makro memanfaatkan Linux untuk menyediakan sistem mailnya. Begitu juga banyak Internet Site, dan e-commerce site yang memakai Linux seperti Nawala, Cakraweb, dan Indoglobal. Cuma mungkin karena kalah iklan jadi belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Yang menarik sebetulnya bagi para programmer Indonesia atau anak didik Indonesia, banyak programmer muda yang sukses dan dilirik orang setelah mengerjakan program Open Source. Bahkan bukan dari negara USA, misalnya Andrea dari Italia, Michaelnya GNOME, dan juga seorang programmer muda dari Hungaria. Jadi ini sebetulnya membuka peluang sukses bagi programmer Indonesia yang kreatif.


InfoLINUX: Bagaimana dengan di pemerintahan? Apakah ada kemungkinan untuk me-linux-kan dunia IT di pemerintahan, mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah?
I M W: Jawabnya mungkin saja, mengapa tidak. Apalagi dengan situasi ekonomi, dan ketergantungan kita saat ini dengan produk luar. Linux dan Open Source merupakan suatu jalan keluar yang nyata. Tetapi lebih tepatnya bukan me-Linux-khan, tapi meng-Open-Source-kan. Dan memang untuk sistem operasinya akan lebih bebas kalau menggunakan Linux. Sebetulnya bagi institusi pemerintahan pengguna Linux dan Open Source di samping murah, juga menjadikan SDM makin menjadi fokus dalam pengembangan teknologi informasi ketimbang pembelian perangkat lunak. Di samping itu ketergantungan akan suatu perusahaan asing menjadi kecil. Contoh di beberapa institusi di atas telah menunjukkan hal tersebut. Untuk itulah diharapkan pihak pemerintah dapat mulai melirik manfaat Linux dan Open Source dalam operasinya sehari-hari. Sebagai contoh, adalah aplikasi Geographic Information System (GIS), sebagian besar pihak pemerintah berfokus pada aplikasi semacam MapInfo yang berharga mahal, padahal ada solusi yang menggunakan Open Source, misal dengan GRASS dan dengan Linux yang cukup handal (bahkan AD Amerika pun memakai ini), yang bisa dimanfaatkan. Nah dengan ditekannya biaya pembelian perangkat lunak ini (untuk GIS bisa lebih dari 30.000 USD untuk satu kantor), bayangkan kalau nilai itu kita kalikan dengan 26 propinsi tentu menjadi nilai yang besar. Bukankah dana yang seharusnya keluar untuk pembelian perangkat lunak dapat dibelokkan, misal menaikkan tunjangan jabatan yang menangani sistem tersebut, melakukan pelatihan dan pendidikan.


InfoLINUX: Bagaimana dengan dunia pendidikan? Sekarang ada kecendrungan untuk terjadi kecendrungan telur dan ayam. Dunia pendidikan menunggu pemakaian Linux di Bisnis, dan Bisnis menunggu kesiapan SDM.
I M W: Hm.... sebetulnya ini menunjukkan bahwa sebetulnya dunia pendidikan kita belum siap menjadi penentu arah (maaf kalau terlalu kasar terdengarnya). Artinya dunia pendidikan hanyalah mengikuti situasi pasar saat ini (bukan masa depan), dan takut melakukan perubahan. Padahal kalau kita belajar dari masa lalu, ketika program yang favorit WordStar, semua mengira hanya WordStar yang harus dikuasai, ternyata digantikan oleh MS Word, dan sebagainya. Artinya ada kemungkinan trend saat ini digantikan oleh trend mendatang. Artinya apa yang favorit sekarang ini bukanlah menjadi yang standard. Harusnya dunia pendidikan mengembalikan lagi kepada tujuan semula yaitu mengajarkan basic knowledge dari technology itu. Bukan sekedar cara operasional suatu produk. Bila dunia pendidikan hanya bersikap menunggu perubahan trend maka yang terjadi seperti sekarang, yaitu dunia pendidikan selalu kedodoran mengikuti perubahan teknologi, karena tidak turut aktif dalam menentukan arah perkembangan teknologi itu.


InfoLINUX: Gimana nih, cara memecahkannya?
I M W: Saya jadi ingat ketika bertemu dengan para pendiri LinuxCare di CEBIT 2000. Jawab mereka, ya kita saja yang memulai. Artinya kalau memang pihak pendidikan belum siap mengadopsi atau menyesuaikan materinya kita sediakan materi tersebut secara bebas. Dan silahkan mereka memanfaatkannya. Saya perhatikan ini telah dimulai oleh beberapa pengguna Linux dengan menyediakan materi-materi tulisan untuk mempelajari Linux, materi solusi Linux untuk dunia pendidikan, tanpa ada campur tangan dana bantuan dari pemerintah. Menarik sekali memang fenomena ini. Nah jadi kalau memang dunia pendidikan Indonesia (terutama bidang TI), ingin berfungsi sebagai penentu arah, maka sudah sewajarnya mereka berani mengambil langkah ke arah Linux dan Open Source. Misal dengan mengambil Open Source Campus Agreement. Sebetulnya para vendor adalah berada pada pihak yang lebih diuntungkan ketika dunia pendidikan Indonesia mengajarkan pemakaian suatu produk. Walaupun lembaga pendidikan Indonesia merasa bahwa anak didiknyalah yang diuntungkan. Sebetulnya banyaknya SDM yang menguasai suatu produk itu memberikan jaminan kepada vendor akan ketersediaan dukungan teknis. Nah ini lah yang sering kita lupakan, akhirnya malah dunia pendidikan hanya menjadi pengikut arus, penyedia SDM dengan ketrampilan suatu produk yang akhirnya hanya menguntungkan vendor tertentu saja. Mengapa sekarang dunia pendidikan tidak mencoba mengubah arah...? Kalau kita ambil Linux dan Open Source, mengapa kita tidak mulai dengan membuat anak didik mulai mempelajari Linux, sehingga dalam tempo 1 tahun perusahaan tidak ragu-ragu lagi memakai Linux. Karena perusahaan mendapatkan jaminan bahwa ada orang yang dapat bekerja dengan sistem operasi ini. Bahkan bila perlu institusi pendidikan membuat Linux-nya sendiri, seperti yang dilakukan oleh universitas di Jerman dan di USA. Kan asik sekali kalau ada, GunadarmaLinux, UGMLinux, UILinux, UnHasLinux, IPBLinux atau berbagai distribusi berbasiskan Universitas di Indonesia. Tentunya pandangan ini membutuhkan keberanian institusi pendidikan untuk mengambil posisi sebagai penentu arah.


InfoLINUX: Apa trend aspek perkembangan linux yang perlu dipelajari?
I M W: Linux itu sangat luas dan menarik dipelajari. Kita tidak terpaku pada satu jenis saja. Jadi walau disebut Linux, kita masih dapat bervariasi, Linux yang mana..? Embedded Linux, Real Time Linux, atau Linux di platform Intel, Motorolla, Mainframe, dan sebagainya. Semuanya membukakan kesempatan untuk para praktisi TI memperluas wawasan, tanpa harus terikat pada suatu platform tertentu. Saya sendiri baru mendapatkan sebuah "kartu nama" dari LinuxCare dan dengan kartu nama ini saya dapat memboot dan memiliki sistem Linux dengan XWindows. Hal seperti ini belum terbayangkan 6 bulan yang lalu. Jadi kemungkinan pengembangan Linux sangat lah luas. Sistem lisensinya yang GPL memberikan kebebasan kita untuk mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan kita.


InfoLINUX: Bagaimana pengaruh Linux dan Open Source terhadap perkembangan kelompok diskusi mailing list di Indonesia?
I M W: Linux bisa dikatakan masuk ke Indonesia secara bergerilya melalui mailing list di Internet. Setelah itu baru masuk ke media massa secara perlahan. Masuknya Linux dan Open Source ke Indonesia ternyata memberikan warna perkembangan lain pada para praktisi TI di Indonesia. Ini tampak pada warna yang muncul di diskusi-diskusi mailing list yang berkaitan dengan TI. Antara lain yang sempat saya amati adalah:
# Para praktisi TI mulai memperbincangkan aspek etika dan legalitas. Hal ini tadinya jarang sekali terjadi di mailing list kini sudah mulai menjadi umum. Kepedulian konsep berbagai lisensi (azas legalitas) mulai timbul. Memang pada Open Source penyalinan program tidak selalu identik dengan pembajakan. Dalam Open Source sendiri ada beragam lisensi, GPL, LGPL, MPL, BSD license, X, yang terbaru APL. Jadi secara perlahan terbentuk ``pendidikan hukum untuk mengakui karya cipta orang lain''. Juga tampak pada mailing list yang sebagian besar penggunanya adalah pengguna Open Source, menanyakan suatu nomor lisensi atau program bajakan akan meruapakn sesuatu yang memalukan dan ditabukan.
# Keterbukaan adalah kata kunci pada dunia Open Source, misal kemauan mempublikasikan isi dari program atau source code. Sudah barang tentu bukan source code saja tetapi harus disertai dokumentasi. Dengan kata lain, pelaku akan didorong menjadi menerima ``keterbukaan'' dan siap ``mengadu argumentasi'' secara terbuka. Tidak ada struktur data ataupun algoritma yang disembunyikan atau bersifat proprietary. Suatu program akan dinilai tidak saja dari jalannya, atau tampilannya tapi juga dari ``bersih'' atau tidaknya source code. Kebiasan pola penentuan secara diktatoris tidak memiliki ruang gerak dalam pola Open Source. Ketrampilan berdiskusi dan merumuskan hasil diskusi akan sangat membantu untuk berjalannya suatu proyek Open Source.
# Developer mengikuti keinginan publik. Dengan kata lain golongan elite (jika para developer inti ini diangap golongan elite) akan selalu terpacu mengikuti golongan ``rakyat banyak''. Bukankah situasi ini yang selalu dicita-citakan dalam konteks sosio-politik. Batasan kepemilikan kaum elite bahkan dapat terhapus apabila publik menginginkan. Hal ini ditunjukkan dengan kekuatan publik untuk mengubah suatu bentuk lisensi.
# Para pelaku terdorong harus bisa menuliskan apa yang mereka ingini (misal definisi dan disain dari program) secara jelas bagi publik. Karena bila tidak jelas ditulis, publik tidak banyak yang akan tertarik. Ketika suatu proyek dimulai orang banyak (publik) selalu ``menuntut'' dituliskannya Frequently Asked Question (FAQ), HOWTO, yang bisa dipahami orang banyak. Di sini ternyata budaya tulis menulis kita yang masih lemah itu mengalami perbaikan secara tidak sengaja.
# Dalam lingkungan Open Source para pelaku bermain dengan ``reputasi kerja yang dinilai dari hasil kerja''. Sekecil apapun kerja mereka akan diakui kalau ada hasilnya. Pemimpin suatu proyek adalah siapapun yang terdepan dalam karya nyata.


InfoLINUX: Bagaimana perkembangan penggunaan Linux di dunia pendidikan, bisnis, dan masyarakat umum di dunia?
I M W: Bisa dikatakan saat ini Linux mulai merambah dan dimanfaatkan di mana-mana dari tingkat super komputer di berbagai lembaga penelitian, aplikasi bisnis hingga embedded. Di CEBIT 2000 saya melihat kini Linux dijadikan modal untuk oleh berbagai perusahaan menghasilkan beragam produk, misal firewall, file server, PDA, Internet Kiosk. Di Jerman ini bahkan workstation untuk perpustakaan kini diganti dengan menggunakan Linux semuanya. Universitas tertentu seperti Paderborn, membuat distribusi Linuxnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan universitas tersebut. Bahkan di dekat kota saya tinggal ada suatu hotel yang memanfaatkan Linux untuk mengendalikan seluruh peralatannya. [www.linuxhotel.de]. Di Indonesia sendiri beberapa perusahaan besar sudah mulai melirik pemanfaatan Linux ini, biasanya mereka mulai dengan memakai Linux untuk kebutuhan Internet misal Web Cache, atau untuk email. Dan lama-lama mulai dimanfaatkan ke aplikasi lainnnya, misal menggantikan Windows NT sebagai file server. Memang kestabilan Linux serta harganya yang murah menjadi pendorong utama. Apalagi bagi perusahaan yang telah terbiasa di lingkungan UNIX, mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk mengadaptasi dengan Linux. Justru itu sayang sekali kalau dunia pendidikan belum melihat perubahan trend ini. Bahkan melihat ramainya dukungan vendor besar seperti IBM, Motorolla, Intel, Compaq, Oracle, SUN, dan sebagainya ke Linux bisa dikatakan Linux merupakan masa depan yang cerah bagi para mahasiswa Indonesia yang berani memulainya untuk mempelajari hal ini.


InfoLINUX: Apakah aspek budaya masyarakat Indonesia sendiri masih sangat mempengaruhi perkembangan Linux di Indonesia?
I M W :. Jelas... sebagai contoh keterbukaan dan silang pendapat yang umum pada pola pengembangan Bazaar di Open Source masih sering mendapatkan hambatan karena kita sudah terbiasa dengan pola pengembangan "otokrasi" yang serba tertutup dan menabukan pertentangan pendapat. Ini tidak saja di dalam kancah sosial politik, tetapi juga dalam pengembangan teknologi. Hal ini tidak terlepas dari "paradigma teknologi TI" (di Indonesia) yang banyak digunakan saat ini. Seperti yang disebutkan Neil Postman pada artikelnya Defending Ourselves yang membahas masalah media baru: Every technology has a philosophy which is given expression in how the technology makes people use their mind..... Every technoloy has prejudice...The philosphy in a new technology always makes war against the philosopy embedded in an old technology Dampaknya seringkali terjadi "perang" flame war atau diskusi besar yang diakibatkan perbedaan filosofi ini. Sebagai contoh kontras saya ambil antar para developer yang dibesarkan di lingkungan Microsoft yang cenderung akan membuat para developernya ataupun orang yang di dalamnya memiliki pendekatan yang berbeda dg para developer di Unix yang relatif lebih heterogen. Hal ini juga telah diungkapkan oleh Michael A. Cusumano dan David B. Yoffie yang mengamati para programmer (developer) yang berkembang di platform Windows (banyak bergaul dg Windows) cenderung akan memiliki pendekatan "single platform", sehingga kemajemukan pandangan menjadi kurang sehingga cenderung akan memiliki pendekatan yang mengutakan "keseragaman" daripada "keragaman". Juga jarang sekali timbulnya konsensus yang diakibatkan pengguna ada developer di luar "developer inti". Artinya suatu keputusan datang secara otoritas (dalam hal ini dari Head Officenya MS) Sangat berlawanan sekali dengan kondisi Open Source yang bergaya "postmodernisme" yang mengutamakan diversity dengan semangat yang mengedepankan "keragaman" dan "kesepakatan melalui diskusi (bukan otoritas)". Semangat keragaman ini tampak sekali dari pola pengembangan, dan produk yang digunakan serta juga dari pola diskusi para penggunanya. Sebagai contoh, siapa yang menentukan fitur Windows 2000 apakah user atau developer yang diskusi yang bersifat Open? berbeda dengan Linux, misal Kernel 2.4, user dan anggota milis yang menentukan feature dan implementasinya. (Hal ini yang sedikit banyak membedakan approach FreeBSD dan Linux). Kekontrasan ini tergambarkan juga pada "wajah milis". Beberapa rekan yang telah terbiasa di dunia Open Source biasanya cenderung akan menerima keragaman (karena ini terbiasa dengan keragaman distribusi, GUI, file system). Pertentangan pendapat adalah biasa. Pengaruh ini secara pelan tapi pasti memberikan dampak pada attitude dalam berdiskusi di mailing list. Kebiasaan seperti ini cenderung kurang tampak pada mereka yang terlalu "bergelut" di lingkungan MS Windows (walau memakai Linux tapi approach Linux ala MS Windows. 1 bundel RedHat dianggap Linux..Cool. Mereka cenderung akan memiliki pemikiran "single platform". Karena terbiasa bahwa sesuatu itu harus datang dari "vendor utama" atau dari otoritas utama. Pola pendekatan single platform ini sulit terjadi karena di Linux (Linux kan hanya kernel) yang terjadi adalah keragaman. Sehingga sangat tergantung kombinasi dan selera. "Heterogenitiy dan interoperability" sangat diutamakan pada Open Source, sedangkan "uniform" (walau dibalut dengan istilah integrated) lebih diutamakan pada pendekatan ala Closed Source (kontrasnya MS). Sebagai contoh Linux yang saya sebutkan bisa berbeda dengan Linux yang digunakan oleh pengguna lainnya. Apalagi kalau sampai perbandingan GUI-nya, misal saya pakai KDE, yang lain pakai Windowmaker, dan yang lainnya lagi pakai GNOME. Tentunya kebiasaan perbedaan seperti ini cepat atau lambat akan mempengaruhi diskusi dan kebiasaan menghadapi perbedaan. Walau misalnya kita sama-sama pakai distribusi SuSE. Hal tersebut dapat di"nikmati" dari milis Linux misalnya.. (antar aktivis linux diskusi berat bukanlah hal yang aneh, bahkan di linux kernel sering sekali terjadi war seperti ini). Berbeda dengan milis pengguna program "closed source" yang jarang sekali terjadi argumen yang keras, karena toh semua menjadi "seragam" dan dapat ditentukan oleh "otoritas utama". Jadi sebetulnya kita semua sedang menjadi saksi suatu pergeseran paradigma pada saat ini. Setiap terjadi pergeseran paradigma tentu akan mengakibatkan "benturan-benturan" seperti ini. Sama dengan sekarang kita sering kaget.. melihat para menteri saling berargumentasi secara terbuka. Padahal sebelumnya jarang terlihat, sebab ada "palu tunggal yang memiliki otoritas yang luar biasa kuatnya". Hal lain yang menjadi kendala adalah kebiasaan para praktisi TI mengharapkan produk jadi. Bisa dikatakan saat ini sebagian besar dari implementasi hanyalah memanfaatkan produk jadi. Praktisi TI Indonesia jarang sekali turut aktif dalam proses evolusi pengembangan teknologi informasi. Hal ini juga menjadi hambatan dalam mengadopsi Linux. Nah semangat menanti "barang jadi" lah yan masih besar ada pada sebagian praktisi TI pertama kali ketika memberikan respon akan Open Source seperti Linux. (walaupun praktisi TI itu sudah meng-claim dia memakai Linux...tetapi attitude memakai "shrink wrapped product" masih besar). Semangat menganggapnya sebagai "raw material" yang bisa dikustomisasi dengan mudah masih belum muncul (berbeda dg tanggapan para praktisi TI Taiwan di CEBIT.. mereka sekarang jual produk Web server, embedded based on Linux yang mereka kustomisasi). Karena dengan cara itu mereka bisa menjual produk dengan cepat dan lebih murah. Sebetulnya berdiam diri dan menanti suatu produk menjadi siap hanyalah akan menempatkan diri kita para praktisi TI kembali sebagai pengguna biasa. Justru disitulah kurang relevansi bila kita beranggapan .. ya kita pilih-pilih saja yang cocok... Mengapa kita tidak membuatnya cocok?


InfoLINUX: Bagaimana perkembangan terakhir dari OSCA di Indonesia? Apa saja kendala utama pengenalan konsep OSCA?
I M W: Terus terang OSCA masih belum begitu dipahami atau diikuti oleh lembaga pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa hal yang saya coba identifikasi saat ini. Pertama, lembaga pendidikan masih belum memahami konsep Open Source, dan Linux. Masih banyak yang mengira bahwa Open Source atau Linux itu tidak ubahnya suatu produk jadi dari suatu perusahaan yang baru, seperti halnya MS Windows, Novell dan lainnya. Sehingga mereka merasa takut berpihak pada suatu produk saja dan menerima OSCA memang menjadi cukup aneh, kalau mereka dengan mudah menerima MCA. Kedua, dunia pendidikan ragu untuk berpihak, artinya lebih suka memilih jalan tengah. Hal ini disebabkan pandangan bahwa berpihak pada Open Source seperti berpihak pada salah satu produk. Padahal berpihak pada Open Source adalah berpihak pada diri sendiri. Kalau saya kutip dari kata-kata Chaomsky bukankah tanggung jawab seorang intelektual untuk berbicara mengenai kebenaran dan menguak kebohongan-kebohongan. Intelektual tidak boleh netral atau bebas nilai: mereka harus berpihak. Yakni berpihak kepada kelompok lemah yang tak terwakili. Dalam hal ini konsumen TI dan mahasiswa. Ketiga, dunia pendidikan takut bila tidak membekali anak didiknya dengan pengetahuan praktis yang sedang nge-trend saat ini. Padahal kita pahami yang diuntungkan dengan pemahaman ini adalah vendor perangkat lunak tersebut. Yaitu dengan tersedia melimpah ruahnya orang yang telah dapat menggunakan perangkat lunak tertentu. Memang kekhawatiran ini sangat beralasan melihat saat ini sepertinya yang populer adalah platform lain bukan Linux. Sama halnya ketika era 1988-an semua orang tahunya pengolah kata itu Wordstar, tapi toh bisa berubah juga. Kenapa dunia pendidikan tidak mencoba untuk menentukan langkah demi kebaikan masyarakat banyak. Keempat, dunia pendidikan Indonesia belum memiliki SDM yang memadai untuk mengadopsi Linux dan Open Source. SDM memang sering menjadi kendala bagi institusi di Indonesia untuk mengadopsi suatu teknologi. Biasanya jalan keluarnya adalah memilih teknologi yang tidak menyaratkan SDM yang tinggi. Tapi akibatnya kita tidak pernah memiliki SDM yang memadai. Sebetulnya dengan Linux, karena kebutuhan SDM ini menjadi teridentifikasi sejak dini, akan memberikan keuntungan positif pada jangka panjang yaitu, adanya SDM yang baik. Kelima, kalau dari pendidikan bidang TI sebetulnya dunia pendidikan komputer kita agak melenceng dari kebiasaan di dunia international. Misal rata-rata anak didik di Uni di Eropa atau USA dibekali dengan pengetahuan standard UNIX, tetapi di Indonesia relatif masih berbasiskan DOS dan Windows. Begitu juga masalah penulisan dokumen, bisa dikatakan di kalangan akademisi atau di universitas format LaTEX adalah format yang sudah standard untuk digunakan, tetapi kita di Indonesia, relatif terpaku pada suatu format proprietary, DOC misalnya. Sebetulnya dengan adanya Linux dan Open Source ini pendidikan TI di Indonesia mendapat kesempatan untuk mengejar ketinggalannya, bisa mempelajari berbagai teknologi tanpa terbataskan oleh vendor tertentu. Seperti teknologi komputer paralel dan lain sebagainya yang tersedia murah di Linux.


InfoLINUX: Mana yang lebih sulit antara mengenalkan konsep open source ke kampus atau ke dunia bisnis?
I M W: Biasanya kalau di Eropa dan USA di kampus lebih mudah daripada di bisnis. Tapi rupanya di Indonesia tidak seperti itu..he.he.he. Malah beberapa perusahaan sudah berani mengadaptasi dan menggunakannya lebih dulu dibandingkan institusi pendidikan. Misal perusahaan ISP, sedang pihak kampus relatif masih sedikit dan hanya menggunakannya yang berkaitan dengan Internet atau Lab. Sedikit sekali yang mencoba menggunakannya misal untuk administrasi atau pengelolaan kampus. Mungkin ini kembali kepada apa yang telah saya sebutkan di atas, yaitu pihak kampus masih ragu-ragu sebagai penentu arah perkembangan teknologi (dalam hal ini teknologi informasi), jadi seringkali hanya sebagai pengikut arus, dan bahkan hanya sebagai penyedia tenaga kerja belaka. Sebetulnya Linux sendiri berkembang pesat di kampus, sebelum di bisnis. Bisnis sendiri dapat menerima setelah banyak orang kampus ke luar nekat membentuk bisnis dengan Linux (seperti VA Linux, SuSE dan sebagainya). Tapi tampaknya hal tersebut kurang berlaku di Indonesia, (atau mungkin belum). Hal ini tidak dipungkiri disebabkan masih mudahnya dunia pendidikan kita mengabaikan masalah lisensi dengan memakai program bajakan. Mudah-mudahan dengan makin semaraknya Linux dan Open Source, syukur-syukur dibarengi dengan dukungan kampus kepada Open Source Campus Agreement (OCA), maka masalah etika dan legalitas akan semakin diperhatikan oleh dunia pendidikan Indonesia. Sebab kalau tidak kondisi ini ironis sekali, di satu sisi kita ingin mengajarkan kepada anak didik penghormatan kepada karya cipta, tapi di sisi lain kita melanggarnya dengan nyata-nyata. Banyak juga kalangan pendidikan kita beralasan bahwa membajak program dalam proses mempelajari adalah sah-sah saja. Tetapi kembali lagi kita ke pertanyaan, apa sebenarnya yang ingin kita pelajari? Teknologinya atau sekedar teknik operasional belaka? Jangan sampai malah anak didik kita sebetulnya hanya menjadi "korban iklan" ataupun hanya diperalat demi lakunya suatu produk di pasaran. Jangan-jangan awalnya kita beranggapan berhasil "mengelabui" ternyata akhirnya kita yang dikelabui karena menjadi tergantung dengan produk mereka dan tidak maju-maju. Banyak juga kalangan pendidikan yang beralasan bahwa hukuman hak cipta itu kan buatan negara barat. Sedangkan karya cipta bangsa Indonesia saja banyak yang dibajak. Jadi wajar saja kalau kita membalas dengan membajak karya mereka. Sedih juga sebetulnya mendengar hal ini. Dari komentar ini tampak sekali bahwa pemahaman masalah legalitas, masih diabaikan di kalangan universitas baik mahasiswa maupun pengajarnya. Mungkin kita memang masih baru dalam hal ini. Sepertinya kita dapat kembali pada "etika profesi TI" yaitu melindungi kepentingan publik, yaitu pengguna TI Indonesia. Jadi kita juga harus memperhatikan kemajuan TI Indonesia, bukan sekedar karena merupakan lahan bisnisnya, tempat cari makannya. Jangan sampai masyarakat kita menjadi korban dan harus membayar mahal di kemudian hari akan teknologi yang digunakan (yang sebagian besar juga dipengaruhi oleh pilihan para praktisi TI-nya dan juga lembaga pendidikan). Mungkin sekarang sudah saatnya kita menghargai etika profesi kita sendiri, dan juga menghargai sisi legalitas dari profesi kita. Bukankah kita sudah saatnya melihat platfrom yang memberikan kebebasan kita dari ketergantungan menentukan teknologi yang kita terapkan. Sehingga publik dapat menerima manfaat sebesar-besarnya melalui pilihan para praktisi TI-nya. "Believe" pada suatu teknologi juga diperlukan untuk mengembangkan teknologi tersebut, sehingga kita tidak saja berada pada posisi pengguna (end-end-user), tetapi juga turut aktif mengembangkan. Open Source sendiri dapat dimanfaatkan secara lebih luas pada pengembangan pendidikan di Indonesia. Jadi bukan institusi pendidikan menggunakan program Open Soruce. Tapi metoda pengembangan ala Bazaar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan institusi pendidikan. Misal dalam mengembangkan kurikulum, materi praktikum dan sebagainya. Selama ini pengembangan relatif dilakukan oleh satu institusi dan hasilnya hanya dinikmati oleh institusi tersebut. Dengan konsep Open Source maka yang dapat mengambil manfaat tidak saja institusi tersebut (apalagi dengan dana rakyat) tapi juga seluruh rakyat Indonesia lainnya. Bukankah ini merupakan langkah untuk menghemat dana? Sebagai penutup saya hanya ingin mengutip tulisan Postman kembali, "Culture always pays a price of technology."
======== oef ======

Pemikiran Dari Bapak I Made Wiryana Untuk GNU/Linux FOSS di Indonesia Pemikiran Dari Bapak I Made Wiryana Untuk GNU/Linux FOSS di Indonesia Reviewed by Unknown on 11:31 PM Rating: 5

No comments:

Pembaca yang baik selalu meninggalkan komentar

Popular Post

Powered by Blogger.